Menulis, Tradisi Intelektual Muslim

Membangkitkan Peradaban Islam Dengan Menulis

Judul                            : Menulis, Tradisi Intelektual Muslim

sumber: goodreads.com
sumber: goodreads.com

Penulis                          : Dwi Suwiknyo dkk

Penerbit                       : Youth Publisher

Tahun Terbit                : November, 2010

Jumlah Halaman          : 184 halaman

ISBN                           :  978-602-97924-0-9

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, pegiat di Bondowoso Writing Community.

Islam diawali kelahirannya dengan turunnya jibril ke bumi, bertemu seorang yang bernama Muhammad. Jibril menyampaikan wahyu pertama kali dimulainya risalah, dengan kata Iqro’! Bacalah!. Iqro’ bismi rabbikalladzii kholaq. Dari awal mula Islam yang menyuruh ummatnya pertama kali membaca inilah, akhirnya Islam meluas raya pemeluknya, peradabannya tinggi gemilang tiada dua.

sumber: elhimma.wordpress.com
sumber: elhimma.wordpress.com

Walaupun makna membaca tak hanya membaca teks namun juga membaca alam, kejadian, dsb. Namun, Islam sejak awal telah memelihara budaya menulis agar ada yang bisa dibaca (teks). Karena memang Islam itu mencintai ilmu dan tak jauh dari ilmu. Orang berislam saja harus berilmu. Mau shalat ada ilmunya, mau puasa ada ilmunya, mau haji ada ilmunya dan semua rangkaian ibadah dalam Islam itu ada ilmunya. Karenanya ada istilah, Al-Ilmu qobla qoul wal ‘amal, ilmu sebelum berbicara dan beramal. Begitulah Islam, bahkan menuntul ilmu itu wajib dalam Islam baik ilmu dunia atau ilmu akhirat (agama), walaupun ilmu agama harus lebih kita ketahui sebagai pondasi saat kita belajar ilmu dunia. Menuntut ilmu itu wajib bagi muslimin dan muslimat, begitu kata Rasulullah. Dalam hadits lain Rasul bersabda, “Barangsiapa ingin dunia maka carilah dengan ilmu. Barangsiapa ingin akhirat maka carilah dengan ilmu. Dan siapa saja yang inginkan keduanya, maka itu pula dengan ilmu.”

Karena kecintaan Islam akan ilmu, membaca dan menulis, maka sampailah pada kita mushaf Al-Qur’an. Al-Qur’an mustahil akan sampai pada zaman kita saat ini jika tidak ditulis oleh para sahabat, selain dihafalkan. Karena memang, kata sahabat Ali Ra, menulis itu mengikat ilmu. Maka sampailah ilmu Al-Qur’an pada kita. Selain itu Islam juga melahirkan ulama-ulama (ilmuwan) dengan berbagai bidang keilmuan, baik agama dan umum. Contoh saja Imam Bukhari tak kenal lelah mencari hadist walaupun jalan kaki. Dari perjuangan beliaulah lahirlah sebuah kitab hadits paling tersohor yakni  Shahih Bukhari. Contoh lainnya ada Ibnu Sina yang menjadi ilmuwan yang mengajarkan ilmu kedokteran. Namun sayang, saat ini ummat Islam sendiri lupa akan masa kejayaannya. Lupa akan warisan budaya ulamanya. Ya, membaca dan menulis saat ini sangat jarang dijadikan sebagai budaya oleh ummat Islam.

Begitu buku yang berjudul, Menulis, Tradisi Intelektual Muslim ini. berisi kumpulan tulisan dari dua puluh lima penulis yang memotivasi pembaca untuk bangkit dari keterpurukan Islam dengan menulis.

sumber: tumblr.com
sumber: tumblr.com

Edo Segara menuliskan tentang spirit menulis Hasan Al-Banna, hingga gerakannya Al-Ikhwanul Muslimin menjadi seperti sekarang. Gerakan Islam paling banyak diikuti ummat Islam. Radinal Muhtar, seorang ustadz di sebua pondok pesantren ini menuliskan tentang lahan jihad yang lainnya selain jihad harbi yaitu, jihad bil qalam. Karena musuh-musuh Islam tak hanya menyerang dengan bom atau roket namun juga dengan buku-buku pemikiran yang sesat. Walhasil, tentu kita harus melawan pula dengan tulisan!

Yanuardi Syukur dalam tulisannya mengajak pembaca untuk menghidupkan lagi tradisi ilmiah Islam. Sebagaimana telah diajarkan ulama dahulu, salah satunya Imam Ahmad bin Hanbal pernah berjalan 30.000 mil hanya untuk mencari hadits. Dari usaha dan kerja kerasnya, ia berhasil menghafal 1.000.000 hadits dan menulis 40.000 hadits dalam kitab yang terkenal, Musnad (halaman 27). Tulisan ini pula berkaitan dengan tulisan Rahman Hanifan, yang mengatakan malu bila tak menulis. Imam Ahmad bin Hanbal saja kuat menuliskan 40.000 ribu hadits, lalu kita mengapa tidak bisa? Lalu apa yang akan kita berikan pada Islam? Belum lagi banyaknya karya yang lahir di dalam penjara. Sebagaimana Tafsir Fii Zhilali Qur’an karya Sayyid Qutb dan tafsir Al-Azhar karya Hamka lahir di dalam penjara (halaman 119). Tak malukah kita?

Sedangkan Dwi Suwiknyo dalam tulisannya memberi tips menulis yang baik menurut dia adalah sebagaimana Al-Qur’an, penuh kisah dan sarat hikmah (halaman 43). Triani Retno pula memberi motivasi dalam tulisannya, bahwasanya dengan menulis kita juga akan mendapatkan pahala, pahala apakah itu? Pahala shadaqah jariyah. Yakni, ketika tulisan kita bermanfaat bagi pembaca, terus hingga akhir zaman (halaman 61). Luar biasa bukan?

Ifa  Avianty, novelis romantis Islami ini menuliskan bagaimana awal mula kiprah menulisnya hingga menuntunnya bertemu dengan Forum Lingkar Pena (FLP) dan Majalah Annida yang banyak mengajarkan padanya ilmu, termasuk pemahaman tentang menjadi penulis Islami yang tetap dia pegang kuat-kuat sampai saat ini (halaman 63). R.H. Fitriadi menuliskan sekaligus mengingatkan kita bahwa menulis itu menjadi pelindung Rasulullah. Maka barang siapa yang berjuang atas nama Islam dengan menulis, maka dia pun termasuk menjadi pelindung Rasulullah, dinullah.

sumber: mangapo.wordpress.com
sumber: mangapo.wordpress.com

Terakhir tulisan yang berjudul sama dengan judul buku ini adalah karya Tinta Zaitun. Memaparkan bahwasanya menulis itu adalah tradisi menuntut ilmu, tradisi mengajarkan ilmu, sekaligus misi pewarisan kepada generasi ummat selanjutnya (halaman 96-99).

Amat disayangkan dari sekian banyak penulis yang menulis dalam buku ini, banyak sekali yang menuliskan hal yang sama dengan penulis lainnya. Jadi, ada kesan pengulangan yang bisa jadi membosankan.   Selain itu buku ini cukup banyak kesalahan, berikut saya berikan contoh sekloah seharusnya sekolah (halaman 90), tingga seharusnya tinggal (halaman 93), terbisa seharusnya terbiasa di halaman yang sama, meski masih cukup banyak terakhir saya sebutkan dalam halaman 165 dikatakan khalifah Umar adalah khalifah ketiga yang seharusnya khalifah kedua.

Namun, walau begitu buku ini tetap layak anda koleksi. Karena isinya penuh motivasi menulis tak berbatas waktu. Selamat membaca dan selamat menulis!