Penakluk Badai Karya Aguk Irawan MN

cover penakluk badai

Dakwah Ala Sang Perekat Umat

Judul                            : Penakluk Badai

Penulis                          : Aguk Irawan MN

Editor                           : Indriani Grantika dan Syahruddin El-Fikri

Penerbit                       : Republika Penerbit

Tahun Terbit                : Pertama, Agustus 2018

Jumlah Halaman          : 562 halaman

ISBN                           :  978-602-5734-17-5

Harga                          : Rp. 99.000,-

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Pengajar Kelas Menulis SD Plus Al-Ishlah Bondowoso

Hadratussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari adalah ulama yang sangat alim. Gelar Hadratussyaikh tidak diberikan kepada sembarang orang,  hadratussyaikh adalah gelar guru besar di kalangan pesantren atau di kalangan ulama (halaman xxi). Ditambah lagi, Kiai Hasyim adalah keturunan ulama dan prajurit, sehingga nilai religius dan patriotik lekat dalam jiwanya.

Dalam novel Penakluk Badai karya Aguk Irawan MN, ada beberapa kesimpulan mengenai apa yang menjadi fokus Kiai Hasyim dalam dakwahnya. Pertama, adalah pendidikan. Setelah menuntut ilmu di banyak pesantren dengan akselerasi yang cepat, hingga ke ulama di Makkah, akhirnya Kiai Hasyim ingin membuat pesantren.

Berbeda dengan lainnya, Kiai Hasyim ingin membuat pesantren di daerah yang tabu saat itu. Daerah bernama tebuireng yang kotor, tanpa agama, jahiliyah, banyak warung remang untuk kemaksiatan, judi dan mabuk-mabukan. Orangtua, guru dan kerabat banyak yang tidak setuju Kiai Hasyim membuat pesantren di tempat seperti itu. Nyeleneh dan nggak lazim, dan bisa-bisa malah akan membuat santri terpengaruh dan lembaga pesantren menjadi buruk.

Namun, Kiai Hasyim bersikukuh untuk membuat pesantren di sana. Hingga karena kegigihan dan alasannya yang benar, akhirnya Kiai Asy’ari (bapaknya) pun merestui Kiai Hasyim membuat pesantren di Tebuireng. Dia membawa santri-santri dari pesantren bapaknya untuk membangun pondok pertama di sana.

Dalam sistem pendidikan pun Kiai Hasyim membuat inovasi. Kiai Hasyim tetap melestarikan sistem sorogan dan bandongan. Lalu untuk memicu semangat kritis para santri, dengan membuat sistem kelas-kelas musyawarah berdasarkan tingkat kecerdasan santri dan umurnya. Kiai Hasyim meminta menantunya untuk membuat madrasah. Ditambah pula ada mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika dan geografi. Sejak saat itu pondok pesantren Tebuireng membuat madrasah syalafiyah syafi’iyah (halaman 210).

Tentu saja membuat pesantren di daerah jahiliyah semacam itu tidaklah mudah. Penuh tantangan dan tetap dihapi oleh Kiai Hasyim. Cara dakwah kedua Kiai Hasyim adalah soal ekonomi, guna memperbaiki kehidupan masyarakat. Kiai Hasyim membiasakan santrinya untuk bercocok tanam. Hasil panennya tidak hanya bisa dipakai sendiri, tetapi juga dijual untuk mendapatkan penghasilan.

Awalnya, bercocok tanam menjadi suatu yang tidak biasa di Tebuireng. Bahkan, kegiatan mulia ini dicela oleh penduduk di sana. Namun, ketika banyak yang tahu kalau bercocok tanam bisa menghasilkan uang alias bisa menjadi pekerjaan, ada beberapa orang Tebuireng yang kemudian tergerak untuk belajar bercocok tanam kepada Kiai Hasyim (halaman 169).

Lambat laun yang lain pun tergerak untuk bercocok tanam. Ditambah lagi, Kiai Hasyim mampu mendekati ketua salah satu komplotan penjahat di sana yang bernama Marto Lemu. Karena dia menjadi baik, banyak pula anggotanya yang berubah dan mau berganti profesi bercocok tanam. Selain itu untuk menggerakkan dan menumbuhkan ekonomi rakyat, Kiai Hasyim membuat koperasi untuk pedagang dan masyarakat Tebuireng yang bernama  Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar (halaman 197).

Fokus dakwah Kiai Hasyim berikutnya adalah merekatkan umat. Pada saat musuh sudah jelas di depan mata yaitu penjajah Belanda, malah umat Islam sibuk bercerai-berai hanya karena perbedaan yang bukan prinsip. Khilafiyah yang hanya cabang-cabang saja, menjadi alasan untuk bertengkar, merasa paling benar sendiri baik di kalangan tradisionalis atau yang modern.

Akhirnya, Kiai Hasyim membuat buku yang berjudul Al-Qanuun al-Asaasii li Jam’iyyat Nahdhatul Ulamaa yang isinya menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam Islam dan persaudaraan sebagai masyarakat. Di dalam tulisan tersebut dijelaskan apa yang dibutuhkan untuk menciptakan persatuan umat, pertama ingin bersatu, saling mengenal dan tenggang rasa. Dalam beberapa kesempatan ceramah seperti saat Muktamar Nahdhatul Ulama tahun 1927 di Surabaya pun beliau mengingatkan tentang pentingnya persatuan dan berbahayanya bercerai-berai antar umat Islam. Tiga hal ini adalah kesatuan yang diyakini Kiai Hasyim mampu melawan penjajahan Belanda nantinya.

Novel biografi Hadratussyaikh setebal 562 halaman ini, sangat asyik untuk dibaca. Hingga rasanya, pembaca tidak akan merasa membaca buku setebal itu. Membaca biografi menjadi tidak berat, tetap dialur faktanya, tetap bermakna, dan sekaligus menghibur. Sebuah rekomendasi untuk dibaca banyak orang di Indonesia, untuk meneladani perilaku Sang Perekat Umat. Selamat membaca!

*dimuat di Malang Post 13 Januari  2019

**Ingin memesan buku? Ke Toko Buku Hamdalah wa http://bit.ly/085335436775
gabung juga di grup
 di http://bit.ly/TokoBukuHamdalahWhatsApp

***Ohya, kalau mau mencari info tentang buku baru, resensi buku, quotes dan info kuis atau giveaway berhadiah buku, bisa gabung ke channel telegram yang saya kelola yang bernama Buka buku Buka Dunia : t.me/bukabukubukadunia