Gugur Bunga Kedaton

Merekam Demak Dalam Novel

Judul                            : Gugur Bunga Kedaton

www.tigaserangkai.com
http://www.tigaserangkai.com

Penulis                          : Wahyu H.R.

Editor                          : Ferrial Pondrafi

Penerbit                       : Penerbit Tiga Serangkai

Tahun Terbit                : Cetakan I, Februari 2015

Jumlah Halaman          : 734 halaman

ISBN                           :  978-602-72097-2-5

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Pegiat di Bondowoso Writing Community

Setelah kemunduran Majapahit pasca Perang Paregreg (1401-1406 M), muncul kekuatan baru di pesisir Jawa yang bernama Glagah Wangi. Glagah Wangi dipimpin oleh Raden Jimbun atau Raden Patah yang disebut sebagai keturunan terakhir Majapahit. Bedanya, kala itu Raden Jimbun telah memeluk agama Islam. Jadi, Glagah Wangi adalah kerajaan Islam dan kemudian terkenal dengan nama Demak.

Sebagai kerajaan Islam, Demak didirikan oleh Walisanga, yang kemudian tampuk kepemimpinan diberikan kepada Raden Jimbun yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar Sirrullah Khalifaturrasul Amirul Mukminin Tajidul Abdul Haq  (halaman 131) dan Walisanga menjadi penasehat kebijakan kerajaan. Dalam buku ini diceritakan awal mula deklarasi kerajaan Demak, bahwa semakin majunya Glagah Wangi mulai dianggap meresahkan bagi pihak Majapahit. Majapahit khawatir akan kehilangan eksistensi jika Glagah Wangi semakin menguat.

Akhirnya, Majapahit menyerang Giri Kedaton yang hampir menyebabkan Sunan Giri meninggal. Konon peristiwa inilah yang menyebabkan Glagah Wangi membentengi kerajaan dan mempertahankan kekuasaan dengan juga menyerang Majapahit. Selain itu disebutkan pula, bahwa sejak lama Raden Jimbun ingin menyerang Majapahit. Namun, hal itu dilarang oleh Sunan Ampel, karena tidak elok jika penyebaran dakwah Islam dilakukan melalui perang, selain itu Majapahit saat itu dipimpin oleh ayah Raden Jimbun, Raja Kertabhumi.

Di sisi lain, penasehat kerajaan Sunan Kudus berbeda pendapat dengan pendapat Sunan Ampel, dan lebih memilih menyerang Majapahit karena Majapahit tidak mau tunduk dan tidak berIslam. Maka, penyerangan Majapahit ke Giri Kedaton pun dijadikan alasan, bahwa Majapahit bisa menjadi bom waktu yang akan menghancurkan Glagah Wangi jika tidak diruntuhkan terlebih dahulu.

Menyimak kisah dalam buku ini, setidaknya bisa disimpulkan jika frasa Walisanga berdakwah di Indonesia atau Nusantara atau lebih tepatnya Jawa dengan damai atau tanpa perang, kurang tepat. Sebab, dalam buku ini disebutkan perbedaan pendapat dua wali tentang perang, dan disebutkan perang dijadikan pilihan oleh Raden Patah.

Selain itu, disebutkan bahwa Sunan Kudus awalnya bermazhab Hanafi, yang disebutkan dalam buku ini kurang toleran sehingga perang adalah pilihan ketika berhadapan dengan Majapahit. Di wilayah lain Nusantara ada yang memakai Mazhab Hanbali yang dalam buku ini disebutkan Samudra Pasai atau Aceh. Syaikh Abdurrahman ulama Aceh berbeda pendapat dengan Sunan Kudus soal dakwah di Jawa yang kurang murni karena bercampur dengan budaya. Sunan Kudus yang waktu itu berubah memakai mazhab Syafi’i, menjadi lebih toleran dan menganggap dakwah melalui budaya itu tidak salah (halaman 315).

Merekam sejarah melalui novel adalah upaya yang baik, dengan harapan pembaca lebih mudah mencerna, memahami dan bahkan memaknai sejarah yang ditulis. Kendatipun demikian, sebagai  karya fiksi novel ini tidak sepenuhnya adalah fakta. Meskipun Wahyu mengakui bahwa dia membaca berbagai referensi untuk penulisan novelnya ini, karena dia tidak mau menulis novel sejarah yang sejalan dengan fakta. Meski demikian, Wahyu lebih suka dikatakan sebagai penulis saja, ketimbang penulis sejarah (halaman v).

Novel ini tidak hanya mengupas bagaimana akhir Majapahit dan Demak masa awal hingga Sultan Trenggono, tetapi juga tentang kontroversi Syekh Siti Jenar, juga Silang Sengketa antar para wali saat pemerintahan Sultan Trenggono.

Sayang dalam novel ini ada penulisan yang kurang pantas dan terkesan vulgar, terkait novel ini menceritakan awal mula kerajaan Islam di Jawa. Walaupun begitu, tidak ada gading yang tak retak, upaya Wahyu dalam merekam Demak dalam novel ini patut diapresiasi, karena tentu saja Wahyu membutuhkan banyak referensi dan telah menulis dengan segala payah.

Dengan demikian, novel 734 halaman ini tidak hanya menghibur tetapi juga penuh hikmah dan sarat renungan. Salah satu yang perlu direnungi adalah, bahwa peperangan hanya akan memecah belah persatuan dan yang akan menjadi banyak korban adalah rakyat jelata (halaman 734). Selamat membaca!

*dimuat di Jateng Pos 27 September 2015