Catatan Indah Untuk Tuhan karya Saptuari Sugiharto

cover-catatan-indah-untuk-tuhan

Kisah Inspiratif Tentang Haji

Judul                            : Catatan Indah Untuk Tuhan

Penulis                          : Saptuari Sugiharto

Editor                           : Henny Irawati

Penerbit                       : Mizania

Tahun Terbit                : Cetakan I, 2014

Jumlah Halaman          : 204 halaman

ISBN                           :  978-602-9255-91-1

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Pengajar Kelas Menulis di SMPN 2 Tamanan Bondowoso

Haji adalah ibadah yang seharusnya menjadikan pelakunya tidak hanya menyandang gelar haji, tetapi juga ada jejak perubahan demi perubahan dalam diri pelaku, dalam hal taat kepada Allah, pemahaman keagamaan semakin didalami, akhlak kepada sesama, dan juga semakin baik dalam kehidupan sosial. Itulah yang dinamakan haji yang mabrur, yang berarti diberkati atau selalu berbuah kebaikan.

Realitas saat ini sebaliknya, tidak jarang mereka yang bersandang haji malah menjadi aktor utama dalam drama konflik dalam masyarakat. Miris sekali. Dalam hal ini, seorang enterpruener sukses, Saptuari seolah hendak mencubit mereka yang hanya memperhatikan gelar dan segala bentuk pamer yang berujung riya dalam bukunya yang berjudul Catatan Indah Untuk Tuhan.

Bagaimana ada sebagian calon jama’ah haji yang sejak awal pemberangkatan sudah heboh selfie dengan tujuan untuk diposting ke media sosial. Dengan memakai pesawat serba canggih, di kursi yang bisa menjadi kasur, kursi yang bisa sekalian memijit orang yang duduk dan dengan fasilitas yang sangat banyak agar 9 jam perjalanan tidak membosankan. Setelah, sampai di Tanah Suci melakukan semua tata cara peribadatan, dan ketika akan pulang harus menghabiskan semua Reyal yang ada dengan berbelanja sebanyak mungkin.

Bandingkan dengan Uwais Al-Qorni pemuda asal Qaran yang hidup di negeri Yaman bersama ibunya. Uwais bekerja sebagai penggembala kambing, dari hasil kerjanya dia sisihkan untuk membeli lembu. Semenjak membeli lembu, dia selalu menggendong lembunya itu ke bukit. Hal ini sempat membingungkan tetanganya. Walhasil, ternyata pekerjaan menggendong lembu adalah untuk memperbesar ototnya, sehingga bisa menggendong ibunya menuju Tanah Suci untuk melaksanakan haji.

Uwais mampu melewati segala rintangan dan ujian selama perjalanan sejauh 600 km, dan sampai di Makkah. Dari usahanya tersebut, dia disebut Nabi sebagai lelaki yang tidak dikenal oleh penduduk bumi, tetapi sangat masyhur bagi penduduk langit. Sehingga malaikat mengirimnya dengan ucapan tasbih tiada henti (halaman 170).

Tidak perlu memakai pesawat super canggih, tidak perlu memamerkan kemampuan untuk berangkat haji. Meskipun, harus berjalan hingga berdarah-darah, namun Uwais akhirnya dicintai dan disayangi oleh penduduk langit. Tidak seperti yang terfasilitasi lengkap, tetapi tidak ada bekasnya sekembalinya ke tanah air, dan belum tentu akan dicintai dan dicintai oleh penduduk langit.

Dalam buku ini, Saptuari juga mengisahkan bagaimana pengalamannya ketika menunaikan ibadah haji. Dia menemukan beberapa orang yang dengan susah payahnya untuk bisa datang ke Tanah Suci untuk berhaji. Seperti orang yang sudah tua, dengan sandal yang berdebu, lagi menghitung sisa uangnya, seolah bertanya dalam hati apakah cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama di Tanah Suci. Ada pula yang duduk di lantai masjid bersama dengan barang-barang bawaannya  berupa dua koper kusam model lama dan dua buah plastik. Dia mungkin bersungguh-sungguh datang ke Tanah Suci, meski tidak bisa membayar ongkos hotel, sehingga dia tidak mempedulikan jika harus menginap dan tidur di lantai yang dulu menjadi pelataran halaman rumah Nabi Muhammas Saw.

Lain lagi dengan kisah Mbah Amat imam sebuah mushala. Sejak dulu hingga sekarang meski badannya bungkuk dia selalu pertama kali datang ke masjid ketika azan dikumandangkan. Mbah Amat punya keinginan yang sangat untuk bisa mengunjungi kiblat umat Islam, Kakbah. Tetapi, sampai saat itu hingga dia mati dia tidak ada kemampuan untuk melaksanakan haji. Meski begitu, Kakbah yang gambarnya sering dia lihat di televisi sangat menancap di hatinya, hingga kerinduannya sangat mendalam menjadi sarana untuk selalu taat kepada Allah.

Itulah kisah yang kontradiksi namun mampu menusuk ke dalam diri pembaca sehingga menjadi perenungan yang mendalam. Masih ada kisah lainnya yang diceritakan Saptuari dalam buku ini, tidak jauh seputar bisnis, sedekah dan ketaatan kepada Allah. Kesemuanya dia tulis dengan bahasa yang renyah, kadang lucu, kadang sedih makjleb, pokoknya membuat hati ingat kepada Allah. Sebuah buku rekomendasi untuk Anda semua. Selamat membaca!

resensi-catatan-indah-dari-tuhan-2-agustus-2016

 

*dimuat di Koran Pantura 13 September 2016