Sewindu Mozaik Cinta Sang Juru Dongeng

Judul                            : Sewindu (Cinta Itu Tentang Waktu)

Penulis                          : Tasaro GK

Penerbit                       : Metagraf (Tiga Serangkai)

Tahun Terbit                : Pertama, Maret 2013

Jumlah Halaman          : 382 halaman

ISBN                          :  978-602-9212-78-5

 

Bagi penikmat buku fiksi karya anak bangsa, pasti mengenal salah satu penulis multigenre Tasaro GK. Penulis yang mengawali karir menulisnya sebagai wartawan, dan kemudian mengakhiri keseharian jurnalisme dengan fokus menulis fiksi. Dari tulisan fiksinya yang best seller seperti Galaksi Kinanti dan Muhammad (Lelaki Penggenggam Hujan) dia dikenal.

Walau selama ini terkenal sebagai penulis karya fiksi, ternyata Tasaro termasuk penulis serba bisa, buku terbarunya yang berjudul Sewindu buktinya. Kali ini Tasaro menulis nonfiksi-otobiografi. Sesuai dengan judulnya, buku ini adalah buku yang dia tulis menceritakan delapan tahun perjalanan hidupnya.

Buku ini terdiri dari dua bab, bab pertama bercerita tentang pernikahan Tasaro dengan istrinya. Awalnya, Tasaro dan Alit Tuti (istrinya) masih menginap di pondok mertua di Cirebon. Ketika itu Tasaro bekerja menjadi wartawan di Radar Bandung (Jawa Pos Grup). Setiap jumat malam Tasaro pulang ke Cirebon datang sabtu pagi dan menghabiskan waktu untuk istirahat karena capek luar biasa.

Bagaimana pun indahnya pondok mertua, bagi pasutri muda hal itu tak nyaman. Begitu halnya dengan Tasaro dan istri. Apalagi jarak antara Cirebon dan Bandung cukup melelahkan jika setiap minggu harus pulang pergi. Akhirnya, Tasaro mencari-cari info tentang rumah yang masih dekat dengan tempat kerjanya dan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Setelah menemukan yang cocok, Tasaro pun mengambil ikhtiar. Dia mengikuti  lomba menulis novel yang diadakan oleh FLP (Forum Lingkar Pena), yang total hadiah juara pertamanya bisa untuk membayar rumah yang akan dia beli.

Tak dinyana, apa yang Tasaro harapkan sekaligus sulit bagi dia yang baru saja memulai menulis fiksi memenangkan lomba novel yang diikuti tersebut. Akhirnya, rumah di bukit Gunung Geulis berhasil dia beli. Di rumah mungil itu dia memulai kisah cinta yang unik, lucu, sedih bercampur aduk bersama istri.

Seperti biasanya rumah baru, rumah yang dibeli Tasaro kosong melompong. Barang-barang yang dimiliki di Cirebon juga sedikit walau dibawa semua dan itu masih kurang lengkap. Nah, ketika tidak ada kain gorden untuk menutup jendela kaca, inisiatif unik pasutri ini mengambil kain berbagai warna untuk dijadikan gorden, alhasil jadilah tiga jendela dengan gorden warna-warni (halaman 23).

Sebagaimana pasutri muda lainnya, pasti ada saja hal kecil yang memicu gesekan emosi antara keduanya. Suatu ketika Tasaro dan Alit  baru saja datang dari menjenguk ibunya di Cirebon. Setelah sampai di rumah dan capek perjalanan, Tasaro pun ingin segera istirahat dahulu, sedangkan Alit adalah orang yang tidak suka dengan ketidakberesan rumah mungil mereka. Lantai kotor, piring dan pecah belah banyak yang kotor, dia tidak bisa hanya diam dan segera membereskan hal tersebut waktu itu juga.

“Ya udah, biar saya yang ngepel, akang tidur saja,” itu kata Alit. Karena salah memahami perkataan tersebut akhirnya Tasaro pun merasa tidak bisa tinggal diam, dia mengambil ember diisi air dan disiramlah air tersebut ke lantai. Sesudah itu dia gosok-gosok. Padahal Alit sudah meminta biar dia saja yang mengerjakan, namun Tasaro tidak mendengarkan. Alit jengkel dalam diam.

Setelah selesai Tasaro kembali ke kamar dan membaca buku, namun karena istrinya tidak datang-datang juga. Akhirnya Tasaro menghampiri istrinya yang masih ada di dapur dan sedang mengepel lantai yang tadi sudah dia pel. Rusuh sudah hati Tasaro, merasa apa yang dilakukan tadi tidak ada gunanya. Sejak saat itu mereka masih diam. Hingga Tasaro berusaha memulai karena istrinya yang pendiam tidak mungkin memulai, dan berkatalah istrinya bahwa apa yang dipel tadi sama saja. Karena lantai depan dipel, lantai belakang malah kotor. Inilah butuhnya saling memahami psikologi antara laki-laki dan perempuan, agar hubungan pasutri yang kusut bisa lurus lagi.

Bab kedua buku ini berisi tentang keluarga, orang tua juga perjalanan karya Tasaro selama delapan tahun tersebut. Seperti meninggalnya dua wanita perkasa dalam hidup Tasaro. Umminya dan Mimih, ibu dari Alit. Kepergian keduanya banyak menyisakan kenangan sekaligus sebagai pengingat bahwa dia harus menjadi imam yang baik bagi istri dan anaknya (halaman 192).

Juga lisah perjalanannya dalam berkarya, dari novel Muhammad yang bermula dengan semangat yang menggebu akan kerinduannya pada makhluk paling terpuji tersebut, Nibiru novel fantasi bersetting Indonesia yang dibaca mulai anak kecil hingga dewasa, juga perjalanannya membuat Kampoeng Boekoe, sebagai upaya meningkatkan budaya literasi di bumi Indonesia.

Bagi pembaca buku-buku karya Tasaro mungkin tahu, jika ditelisik bab pertama buku ini dulunya adalah buku dengan tema pernikahan karya Tasaro: Ini Wajah Cintaku Honey. Setelah delapan tahun, ditambah dengan naskah bab kedua buku tersebut terbit kembali dengan judul Sewindu. Bagaimana Tasaro memaknai pernikahannya, buku ini layak dibaca oleh pasutri dan maupun yang masih lajang. Bagaimana Tasaro memaknai perjalanan menulisnya, maka yang ingin menjadi penulis layak menjadikan buku ini menjadi buku inspirasi untuk terus menekuni dunia literasi. Mozaik cinta Tasaro benar-benar menginspirasi! [Muhammad Rasyid Ridho, Ketua Journalistic Club Ikom UMM dan anggota  Forum Lingkar Pena Malang Raya. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM.]cover Sewindu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(57-Resensi Buku 2013-Annidaonline 30 September 2013) http://annida-online.com/artikel-8366-sewindu-mozaik-cinta-sang-juru-dongeng.html