Menafsir Perang Bubat Melalui Novel

 

cover gajah mada, sanga turangga paksowani
cover gajah mada

Judul                            : Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani

Penulis                          : Langit Kresna Hariadi

Penerbit                       : Tiga Serangkai

Tahun Terbit                : Pertama, 2012

Jumlah Halaman          : 448 halaman

ISBN                           :  978-979084837-5

Peresensi                     : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan-Koordinator Klub Buku Booklicious, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.

            Kisah perang bubat sudah banyak ditulis dalam berbagai tulisan, oleh banyak penulis. Salah satunya oleh Langit Kresna Hariadi dalam novel pentalogi Gajah Mada edisi Sanga Turangga Paksowani. Langit memang sudah terkenal dalam menulis kisah-kisah kolosal epik nusantara.

            Ketika Raja Majapahit mencapai usia dua puluh tiga tahun, telah memiliki kecerdasan dan kemampuan yang memadai untuk menjadi seorang raja serta tidak perlu diajari berbicara. Kerabat kerajaan menganggap sudah waktunya untuk menikah, banyak sekali tawaran dari rakyat bahkan dari Raja-Raja wilayah yang telah dikuasai oleh Majapahit menjadikan anaknya pilihan Prabu Hayam Wuruk untuk diperistri, termasuk datang dari Dompu (halaman 186-189).

            Namun, dari semua pilihan tersebut Prabu Hayam Wuruk akhirnya memilih Dyah Pitaloka. Anak dari Raja Sunda Galuh atau Pajajaran, Prabu Linggabuana. Ibu dan juga bibinya setuju akan pilihannya. Tetapi ternyata pilihan Raja tersebut tidak disetujui oleh patihnya sendiri, Gajah Mada.

IMG_5350
di harian bhirawa 6 des 2013 (doc pribadi)

            Gajah Mada yang sudah banyak melakukan perjuangan agar nusantara bersatu dengan Majapahit, masih belum bisa atau lebih tepatnya tidak disetujui untuk menaklukkan Sunda Galuh. Hal ini lantaran masih adanya hubungan darah antara kerabat Raja Majapahit dan kerabat Raja Sunda Galuh. Mereka yang tidak setuju tersebut adalah Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.

            Selain itu yang menjadi alasan utama Gajah Mada dengan rencana pernikahan Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka adalah tidak maunya Sunda Galuh tunduk kepada Majapahit. Walau kerabat kerajaan Majapahit sudah melarangnya namun tetap saja Gajah Mada ngotot akan menundukkan Sunda Galuh dan menjadikannya menjadi bagian Majapahit.

            Dalam hal ini para petinggi kerajaan terbagi dua. Ada yang  selalu setuju buta akan keputusan Gajah Mada tanpa memikirkan akibatnya dan ada pihak yang masih memikirkan apakah keputusan Gajah Mada adalah keputusan yang baik. Pihak yang selalu setuju pada sikap Gajah Mada, khususnya tentang harus tunduknya Sunda Galuh pada Majapahit ternyata menyimpan sesuatu dibalik setiap persetujuannya. Mereka di antaranya bernama Ma Panji Elam, Pu Kapasa, Pu Kapat dan Pu Menur.

            Namun, cinta Hayam Wuruk pada Dyah Pitaloka sudah tidak bisa dibendung. Sunda Galuh pun setuju akan pernikahan dua kerabat jauh ini. Maka, Kerajaan Majapahit mengirim undangan agar rombongan Sunda Galuh datang pada rangkaian acara pernikahan yang akan diadakan besar-besaran dan dalam waktu yang lama di Majapahit (halaman 408).

            Gajah Mada tentu menjadi gusar akan pilihan rajanya. Terlebih dia mendengar bahwa Sunda Galuh saat ini dipimpin oleh Tuan Putri Dyah Pitaloka. Mada menganggap hal ini tameng Sunda Galuh agar tidak diajak bergabung menjadi bagian majapahit karena Raja Sunda Galuh telah menjadi istri raja Majapahit.

            Namun Gajah Mada tetap pada pendiriannya, yakni ingin menundukkan Sunda Galuh. Ma Panji Elam dan kawan-kawan pun telah membuat sebuah konspirasi dengan mengirim seseorang ke Majapahit yang mengaku sebagai utusan Raja Linggabuana bahwa rombongan akan datang tujuh hari lagi. Karena utusan itu palsu, maka kedatangan rombongan Sunda Galuh di Majapahit yang lebih cepat dari kabar utusan menjadi masalah.

            Rombongan Sunda Galuh merasa heran mengapa kedatangan mereka yang seharusnya ditunggu-tunggu dan disambut dengan meriah malah sepi tanggapan bahkan ketika sudah sampai di Alun-Alun Bubat. Pihak Majapahit juga merasa ada kejanggalan yang terjadi. Maka persekongkolan para pembuat makar pun terjadi pada hari itu, rombongan Sunda Galuh tidak disambut dengan tarian tetapi dengan pasukan bersenjata.

            Tak pelak terjadilah peristiwa sebuah tragedi yang disebut Perang Bubat. Perang yang sampai kini terkadang menjadi isu sensitif antara suku Jawa dan Sunda. Bahkan sampai terjadi tidak diperbolehkan pernikahan Jawa-Sunda. Jika ditelisik pula, tidak ada nama jalan di Bandung dengan nama Majapahit, ataupun Gajah Mada. Begitupun sebaliknya di Jawa, hal ini karena pengaruh peristiwa kecelakaan sejarah tersebut.

            Seperti yang dikatakan oleh Langit dalam buku ini, bahwa  sebaiknya sejarah ini cukup dijadikan cermin agar tidak terulang lagi di masa datang. Maka di masa ini seharusnya sudah waktunya Sunda dan Jawa saling bergandengan. Akhirnya, walaupun buku ini hanya fiksi dan tidak bisa menjadi acuan keakuratan sejarah, namun novel ini layak menjadi teman Anda di saat weekend, berkelana ke dalam sejarah masa lalu Nusantara. Selamat membaca!

(73-Resensi Buku 2013-Harian Bhirawa 6 Desember 2013)